Rabu, 09 Januari 2013

Agama dan Peluang Tindak Kejahatan

Jumat, 4 Januari 2012 -  Terdengar ricuh dari arah pintu masuk Perpustakan UI. Nampak pemandangan seorang ibu muda dan seorang anak lelaki diarahkan dua orang satpam masuk ke kantor keamanan. Selain itu, terdapat seorang mahasiswi yang berjalan beriringan di belakangan mereka. Sepanjang perjalanan, ibu muda hanya bisa menunduk tanpa bersuara sambil sesekali terdengar teriakan satpam yang memerintahkan agar ibu muda tersebut mempercepat langkah. Dari kejauhan terdengar kasak-kusuk satpam dengan seorang pegawai perpustakaan yang membicarakan tertangkapnya seorang penipu.

Saat diwawancara oleh wepreventcrime, petugas piket Unit Pelayanan Terpadu – Pembinaan Lingkungan Kampus Universitas Indonesia (UPT-PLK UI) membenarkan bahwa telah terjadi penangkapan pelaku penipuan. Pelaku berinisial EL yang telah melakukan penipuan sebanyak lima kali ini menggunakan isu agama sebagai senjata penipuan. EL mengaku pada setiap korban bahwa ia dipaksa berpindah agama oleh salah satu rumah ibadah di Depok agar diberikan bantuan uang guna biaya operasi anaknya. Pelaku sadar betul bahwa isu perpindahan agama dapat menarik simpati yang cukup besar. Terbukti dari tujuh kali percobaan penipuan, EL mampu menipu lima orang mahasiswa UI. Menurut penuturan salah seorang korban, setelah mendengar kisah pilu EL, ia membawa EL ke kediamannya lalu memberi uang sejumlah enam ratus ribu rupiah. Dalam melancarkan aksinya EL selalu membawa seorang anak yang berinisial D. Entah D tersebut anak dari EL atau bukan.

Ketika ditanya mengenai kelanjutan kasus ini, pihak PLK menjawab bahwa korban tidak ingin meneruskan ke jalur hukum. Selain alasan rumitnya mekanisme, mahasiswa ini lebih menginginkan pelaku mengembalikan sejumlah uang yang telah diberikan. Setelah terjadi kesepakatan antara pelaku dengan korban, EL memberikan ganti rugi kepada korban berupa dua buah handphone yang dimiliki oleh pelaku dan uang sebesar dua ratus ribu rupiah. EL dilepaskan oleh pihak PLK pada pukul tujuh malam, setelah membuat surat pernyataan bahwa ia tidak akan masuk kembali ke dalam wilayah UI jika tidak mempunyai kepentingan.  Menurut pengakuan dari petugas PLK, EL saat diwawancara tidak dapat memberikan keterangan yang jelas kepada pihak PLK.

Jika menelaah kasus penipuan ini, jelas terlihat isu agama menjadi kunci dalam memuluskan aksi. Sangat disayangkan, nalar kita mudah ditumpulkan dengan penipuan berkedok agama seperti ini. Tanpa mengkritisi, lantas termakan rasa iba. Kejadian seperti ini lantas mengingatkan pada statement Karl Marx bahwa agama adalah candu. Atas nama agama, logika dan kesadaran seakan dibius. Dari sinilah peluang melakukan kejahatan tercipta. Namun, sungguh disayangkan hal tersebut malah terjadi di lingkungan kampus Universitas Indonesia dan korbannya adalah mahasiswa UI sendiri.
Seakan kembali merfleksikan kembali keamanan kampus kita saat ini. “Kan enak mas kalo pihak PLK dan mahasiswa saling kerja sama dalam menjaga keamanan kampus,” begitulah penuturan petugas piket UPT-PLK UI. Jadi mari kita jaga keamanan kampus kita bersama-sama. Bukan hanya itu, mencegah juga lebih baik daripada mengobati.


Siti Nurmeila Alifah dan Andreas Meiki

Dimuat pula dalam @wepreventcrime

 http://wepreventcrime.wordpress.com/2013/01/09/agama-dan-peluang-tindak-kejahatan/

Senin, 24 Desember 2012

Habibie & Ainun: Advertising, Pencitraan dan Air Mata

Film Habibie & Ainun (lagi-lagi) adalah film yang diangkat dari sebuah buku berjudul sama. Film ini mengisahkan mengenai perjalanan cinta antara Habibie dan almarhumah Ainun. Cerita dimulai dengan Habibie yang jatuh sakit ketika sedang mendemonstrasikan kecerdasannya di Jerman. Habibie yang kembali ke Indonesia mengantarkan titipan ke rumah Ainun bersama adiknya. Cerita beralih ke masa lampau di mana Habibie dan Ainun masa SMA.

Teknis

Secara teknis, film ini tidak mengalami masalah yang berarti. Editing juga cukup baik. Tidak ada jumping dan pewarnaan juga tidak bermasalah. Penggarapan chromakey saat Habibie berjalan pulang ke rumah di malam bersalju juga baik, hanya kurang terasa real. Penyutradaraan terbilang mengesankan. Terutama pada akting Reza Rahadian sebagai Habibie. Reza mampu menduplikasi Habibie menjadi dirinya sendiri tanpa terjebak menajadi replika Habibie. Semua terasa natural. Namun, sesempurnanya Reza Rahadian memerankan Habibie, ia juga bisa kecolongan. Terdapat satu scene di dalam kantor Habibie, di mana jam tangan Habibie dipasang tidak terbalik (ala Habibie). Sedangkan untuk Bunga Citra Lestari, aktingnya dapat dikatakan baik mengingat Bunga tidak mempunyai gambaran bagaimana Ainun. Soundtrack juga sangat membangun dan kompak dengan visual dalam hal meruntuhkan air mata penonton.

Sponsor Narsis

Yang saya sayangkan adalah pihak sponsor yang terlampu ingin nampang di scene-scene film ini. Saya memaklumi bahwa ini adalah upaya dalam menaikan segmen pasar, namun cara yang dilakukan kurang pas. Bayangkan saja, ketika saya menonton film ini, penonton yang tadinya larut dalam kesedihan dirusak moodnya oleh kemunculan salah satu produk coklat yang menjadi sponsor film ini. Ayolah, sampai kapan sih film sebagai seni dimanipulasi kapitalis? Apakah tidak cukup kalian menjadi budak produser yang kapitalis sampai tega mengorbankan scene-scene film menjadi tembok promosi layaknya di supermarket?

Gesture Politik

Walaupun film ini mengedepankan romantika antara Habibie dan Ainun, namun dalam beberapa kesempatan juga terdapat scene-scene pembelaan politis Habibie dan secara tidak langsung menyebutkan bahwa alm. Soeharto adalah bapak pembangunan. Saya ingat betul ketika Habibie dipanggil untuk membangun teknologi transportasi. Sang utusan berkata bahwa ini sudah zaman pemerintahan Pak Harto di mana Indonesia sedang giat melakukan pembangunan. Sadar tidak sadar, ini adalah upaya pencanangan budaya authotarianisme. Di mana terdapat usaha pendoktrinan nama baik atas alm. Soeharto. Sudahlah, jangan lagi ada upaya pembersihan nama baik melalui film. Jangan pula ada pemanfaatan film sebagai penancapan ideologi.

Jika menikmati film ini pure sebagai film, saya tidak meragukan kualitas film ini sebagai film penguras air mata. Pasangan mana sih yang tidak menganggap romansanya merupakan kisah terindah di muka bumi? Saya memberikan nilai 5 dari 10 untuk film ini. Ah ya, jika dicermati keluarnya film ini sangat pas momentumnya dengan penyerangan mantan petinggi Malaysia mengenai pengkhianatan Habibie.

Minggu, 16 Desember 2012

Tugas Analisis Teori Kriminologi Modern




Dokumen Supardjo, Ungkap Kegagalan Kudeta G30-S/PKI 1965

Senin, 30 Juli 2012 14:12 WIB
LENSAINDONESIA.COM: Desakan Amnesti Internasional kepada Jaksa Agung RI untuk menyelidiki “Pembantaian Massal” di tahun 1965 silam, seolah membuka kembali lembaran sejarah kelam bangsa Indonesia. Temuan Komnas HAM menjadi rujukan bagi Amnesti Internasional untuk meminta pemerintah RI membentuk penyelidikan dan pengadilan ad hoc untuk kasus kejahatan pelanggaran HAM berat di masa awal berdirinya Orde Baru.
Ketidakjelasan itu bertahan sangat lama karena rezim Orde Baru melakukan monopoli sejarah selama puluhan tahun. Banyak versi yang mengupas sisi gelap dan rahasia dibalik alasan pembantaian massal itu pasca pemberontakan G-30S/PKI, seperti  tulisan Ben Anderson dan kawan-kawannya yang dikenal sebagai Cornell Paper).
Usaha ISAI (Institut Studi Arus Informasi) menerbitkan buku tipis tentang masing-masing versi Gerakan 30 September juga  diganjal  Kejaksaan Agung pada tahun 1995. Tapi, saat Presiden Soeharto jatuh, bermunculanlah di tanah air berbagai tulisan tentang Gerakan 30 September 1965, diawali sejak  1998. Analisis yang diberikan beragam, mulai dari kudeta merangkak (Saskia Wieringa, Peter Dale Scott, Subandrio) sampai dengan kudeta yang  disengaja untuk gagal seperti yang ditulis Coen Hotzappel. Namun, ada sebuah tulisan yang berbeda dari versi-versi sebelumnya, yakni “Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto, ditulis John Roosa. Tulisan ini begitu ringkas dan menceritakan ada berbagai kelompok yang diuntungkan dengan kegagalan kudeta itu, namun apakah pihak  tersebut mendesain peristiwa itu sedemikian rupa dengan skenario yang rapi dan semuanya berjalan seperti yang diharapkan mereka?
Tulisan ini menyatakan tidak demikian. Kalau disebutkan bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) secara keseluruhan melakukan pemberontakan, kenapa 3 juta anggota partai ini  tidak melakukan perlawanan ketika diburu dan dibunuh setelah gerakan itu meletus? Kenapa partai komunis terbesar ketiga di dunia saat  itu begitu mudah dirontokkan? Analisis yang menyebutkan bahwa itu persoalan intern Angkatan Darat juga tidak memuaskan karena persoalannya tidak sesederhana itu.
Bukankah Sjam dan Pono juga terlibat? Sementara itu, versi Soekarno sebagai dalang juga diragukan. Bila sang presiden mengetahui  sepenuhnya rencana aksi ini sebelumnya, kenapa ia berputar-putar di kota Jakarta sebelum menuju pangkalan udara tanggal 1 Oktober  1965? Mengapa Presiden Soekarno tidak langsung saja dari Wisma Yaso kediaman Ratna Sari Dewi (sekarang Museum Satria Mandala di Jalan  Gatot Subroto) menuju Halim Perdanakusuma?
Demikian pula sosok Soeharto tidaklah terlampau “jenius” untuk bisa merancang suatu perebutan kekuasaan secara sistematis. Masih perlu diinvestigasi lebih lanjut seberapa jauh Soeharto mengetahui rencana tersebut sebagaimana disampaikan Kolonel Latif dalam  pertemuan malam sebelumnya di Rumah Sakit Angkatan Darat Gatot Subroto.
Amerika Serikat (AS) tidaklah ikut campur pada tanggal 30 September dan 1 Oktober 1965, walaupun berbagai dokumen menyebut  keterlibatan mereka sebelum dan sesudah peristiwa berdarah tersebut. Bagi pemerintah AS waktu itu, bila Indonesia dengan penduduk keempat atau kelima terbesar di dunia itu–dengan sumber daya alam  berlimpah dan posisi sangat strategis– jatuh ke tangan komunis, berarti telah terjadi kiamat. Riset yang dilakukan John Roosa menggunakan arsip yang jarang diulas secara utuh selama ini, seperti dokumen Supardjo,  tulisan-tulisan Muhammad Munir dan Iskandar Subekti yang tersimpan di Amsterdam, wawancara dengan tokoh-tokoh PKI seperti Hasan yang  meminta dirahasiakan identitasnya sampai ia meninggal.
Muhammad Munir adalah anggota Politbiro PKI dan Iskandar Subekti adalah panitera Politbiro PKI, yang pada tanggal 1 Oktober 1965  mengetik pengumuman-pengumuman yang dikeluarkan Gerakan 30 September. Adapun Hasan memiliki posisi yang dianggap logis mengetahui kegiatan Biro Chusus. Hasan sendiri sudah menulis memoar yang sudah diserahkan kepada John Roosa yang dapat dipublikasikan setelah ia meninggal.
Di samping dokumen-dokumen penting itu, serta wawancara mendalam dengan tokoh sentral organisasi kiri itu, arsip-arsip yang berasal  dari Departemen Luar Negeri AS membantu menjelaskan berbagai hal. Yang menarik, dari sekian banyak dokumen, dokumen Birgjend Supardjo dianggap cukup sahih sebagai semacam pertanggungjawaban setelah  peristiwa itu terjadi yang ditulisnya sendiri ketika ia belum tertangkap.
Beberapa saksi, termasuk Letnan Kolonel Udara Heru Atmodjo, yang sama-sama di penjara dengan Supardjo, mengakui keberadaan surat  tersebut. Pihak keluarga juga mengiyakan informasi yang pernah disampaikan Supardjo. Dokumen itu memperlihatkan bahwa kelemahan utama Gerakan 30 September adalah karena tidak adanya satu komando. Terdapat dua kelompok  pimpinan, yakni kalangan militer (Untung, Latief dan Sudjono) dan pihak Biro Chusus PKI (Sjam, Pono, Bono dengan DN Aidit).
Sjam memegang peran sentral karena ia berada dalam posisi penghubung antara kedua pihak ini. Namun, ketika upaya ini tidak mendapat dukungan dari Presiden Soekarno, bahkan diminta untuk dihentikan, maka kebingungan terjadi dan  kedua kelompok ini pecah. Kalangan militer ingin mematuhi permintaan Soekarno, sedangkan Biro Chusus tetap melanjutkannya.
Ini dapat menjelaskan mengapa antara pengumuman pertama dengan kedua dan ketiga terdapat selang waktu sampai lima jam. Sesuatu yang  dalam upaya kudeta merupakan kesalahan besar. Pada pagi hari mereka mengumumkan bahwa Presiden dalam keadaan selamat. Sedangkan pengumuman berikutnya pada siang hari sudah berubah  drastis (pembentukan Dewan Revolusi dan pembubaran kabinet).
Tulisan John Rossa ini menyederhanakan kerumitan misteri itu dengan metode ala detektif. Sjam Kamaruzzaman, disebut agen ganda, apalagi triple agent, melainkan pembantu setia Aidit sejak bertahun-tahun.
Pelaksana Biro Chusus PKI yang ditangkap tahun 1968 ini baru dieksekusi tahun 1986.   Ia bagaikan putri Syahrazad yang menunda pembunuhan dirinya dengan menceritakan kepada raja sebuah kisah setiap malam, sehingga mampu  bertahan selama 1001 malam. Sjam bertahan lebih dari 18 tahun dengan mengarang 1001 pengakuan. Dokumen Supardjo mengungkapkan mengapa gerakan itu gagal dan tidak bisa diselamatkan.
Kerancuan antara ‘penyelamatan Presiden Soekarno’ dan ‘percobaan kudeta’ dengan membubarkan kabinet dijelaskan dengan gamblang. Jauh  sebelum peristiwa berdarah itu, AS telah memikirkan dan mendiskusikan segala tindakan yang perlu untuk mendorong PKI melakukan  gebrakan lebih dahulu, sehingga dapat dipukul secara telak oleh Angkatan Darat.
Dan, Aidit pun terjebak. Karena sudah mengetahui sebelum peristiwa itu terjadi, maka Soeharto adalah jenderal yang paling siap pada tanggal 1 Oktober 1965 ketika orang lain bingung  dan panik. Nama Soeharto sendiri tidak dimasukkan dalam daftar perwira tinggi yang akan diculik.@awa/dne
 



Penelusuran Buku:
Kriminologi kritis melihat ketidak-setaraan di masyarakat dan melihat bagaimana hubungan hukum dan kejahatan menjadi suatu hal yang saling terkait. C. Wright Mills di bukunya yaitu, The Sociological Imagination (1959). Dia mencerca penelitian sosial yang didanai oleh pemerintah karena dipenuhi dengan kepentingan, ketidak-jelasan, dan hal-hal yang tidak penting. Bagi dirinya kota, lingkungan, dan jalanan mempresentasikan lebih dari sekedar laboratorium sosial bagi ilmu pengetahuan sosial. Pengalaman, nilai, dan kesempatan dari masyarakat paling bagus dianggap dan paling buruknya di marginalisasikan. Penelitian yang dibiayai oleh pemerintah, dipimpin oleh industri, dan dibantu oleh yayasan meniadakan potensi pentingnya. Gambaran besarnya, integritas, independensi, dan integritas dari para akademisi profesional telah hilang.
Kekuasaan, seperti yang telah diilustrasikan oleh Gouldner, bahwa yang memiliki kekuasaan mampu menegakkan nilai-nilai yang dia inginkan. Bagi Davis (1975: 205) proses yang terintegrasikan dari institusionalisis, pelabelan, pendefinisian, dan pengkategorisasian dari karya Becker, memberikan logika dasar dari realitas tentang bagaimana kontrol sosial itu berjalan, masyarakat yang dibedakan berdasarkan kelas, etnis, sex, dan perbedaan politik dan ekonomi yang mana bagi kelompok politik yang kuat dapat menentukan kepentingan mereka dan membiarkan kepentingan kelompok yang lemah. Pencapaian dirinya berakibat pada perubahan tubuh kriminologi yang sekarang menjadi bagian dari sosiologi yang lebih komprehensif.
Jika kita membicarakan mengenai paham Authoritarianism, maka kita akan dihadapkan pada arti dari paham tersebut. Seperti yang ada di kamus britannica, Authoritariansisme merupakan paham yang mana masyarakat memiliki tingkat kepasrahan yang tinggi terhadap pemertinahnya. Setiap masyarkat harus memiliki sikap pasrah terhadap penguasa.
Kekuasaan negara termanifestasikan pada peraturan dan hukum yang dikonstitusikan, tempat pertama dari perintah, larangan, dan penyaringan hukum adalah kode dari kejahatan publik yang di bentuk. Dia berargumen bahwa peran dari kekerasan dalam memberikan arti dasar dari kekuasaan seharusnya tidak dihilangkan denan mencari-cari penyebab dari keputusan yang akan mengurangi kekuasaan untuk melarang baik secara simbolik atau menginternalisasikan penekanan (Poulantzas, 1978: 79).
Poulantzas kembali mengatakan bahwa negara kapitalis memegang kuasa atas monopoli untuk mensahkan peraturan yang digunakan untuk kekerasan fisik. Dari tingkat bawah sampai atas tekanan fisik –pikiran dan badan- disahkan melalui regulasi, kode, dam hukum. Bersamaan dengan semakin banyak campur tangan pemerintah dalam struktut institusional secara keseluruhan, ini membuat institusional menjadi alat yang bisa dipakai oleh pemerintah untuk menahan bangkitnya masyarakat bawah dan bahaya hegemoni kelas.
Konsensus di pikiran demokrasi liberal merupakan hal yang palsu dan membutuhkan manipulasi politik. Dibutuhkan adanya kekuatan untuk bisa membungkam aspirasi komunitas yang tidak mainstream. Strategi politik yang bisa kita sebut sebagai pincer attack. Strategi politik ini mengapit masyarakat (terutama yang terpinggirkan) dengan nilai moral populer yang ada di bawah dan kontrol serta penahanan dari atas.
Howard Becker mengatakan bahwa penyimpangan tidak membuat kontrol sosial. Jadi datangnya kontrol sosial tidak dari penyimpangan yang dilakukan seseorang, tetapi sebaliknya. Jadi kontrol sosial itulah yang melahirkan penyimpangan. Inilah yang menjadi awal adanya pandangan pelabelan, memberikan status negatif terhadap suatu tindakan dan aturan sosial.
Nills Christie, menganggap bahwa sebab dari kejahatan adalah pengkategorisasian dari kontrol negara. Baginya, tidak ada yang namanya kejahatan, hanya ada ‘tindakan dalam proses’ pengkriminalisasian yang dibentuk dari sosiologi-budaya dan politik-ekonomi yang mana pendefinisian ini ditegakkan secara hukum. Seperti yang telah disebutkan bahwa semua ini merupakan proses yang berubah-ubah dari pembentukan kriminalisasi. Semua ini merupakan pembuatan yang terstruktur.
Bagi mereka, kriminalisasi tidak hanya terbatas dari pelabelan sampai pada kategorisasian sosial, tapi juga ‘political containment’ atau perluasan ideologi politik. Sehingga jika kita melihat ini bagaikan sebuah strategi perang, pelabelan dan pengkriminalisasian. Bagi Foucoult formal truth atau kebenaran formal tidak bisa dimengerti jika kita tidak melihatnya dari hubungannya denan kekuasaan. Dia mengatakan bahwa pada tiap- tiap masa pemerintah memiliki nilai-nilai tersendiri dari apa yang mereka sebut sebagai kebenaran.
Aparat penegakan pidana adalah kunci untuk menormalisasi kerja yang berbahaya dengan penerimaan masyarakat dalam menarik dari pekerjaan yang sulit di bawah ancaman. Konsekuensi bagi mereka yang meninggalkan, menolak akan dieksklusikan dari ini pasar tenaga kerja. Hal ini terjadi melalui eksklusi dari program bantuan sosial (kesejahteraan kerja) dan penggabungan ke aparat carceral memperluas (prisonfare).
Waquant berpendapat bahwa harus ada penolakan terhadap asumsi bahwa kebijakan pidana adalah respon langsung terhadap meningkatnya kejahatan. Kedua, kesejahteraan dan kebijakan pidana harus tergabung dalam analisis, karena mereka adalah dua sisi dari pemerintahan yang menarik pada "filosofi behavioris" untuk menegakkan individualisme moral melalui stigma.
Saya terpaksa menyimpulkan bahwa kekejaman dasar kurungan pidana dan proses sesuai otherizing mengurangi manusia (baik perempuan atau laki-laki).”
(Owen, 2005, p. 285)”
“The social arrangements that are characteristic of the most dangerous societies are now, in many places, being enshrined as fundamental virtues: the tolerance of great inequality in the name of economic growth; a willingness to let individuals and families fall into extreme deprivation in the name of encouraging “personal responsibility”; a willingness to leave people’s well-being up to the fluctuations of the job market; the shrinking of public supports for the vulnerable in the name of boosting self-reliance and ending dependency”
Currie (2008a, pp. 112–113)
Pengaturan sosial merupakan ciri khas dari masyarakat yang paling berbahaya sekarang.
Terdapat dukungan empiris substansial untuk klaim Currie tersebut. Namun, kesenjangan besar antara kaya dan miskin tetap ada.
Tindakan kekerasan yang menyakitkan dan lainnya dilakukan oleh negara atau pemerintah. Dengan demikian, Rothe dan Mullins (2006) menyerukan untuk mereformasi hukum. Salah satunya adalah dengan cara meningkatkan yurisdiksi Pengadilan Pidana Internasional (ICC) untuk mengatasi kejahatan yang dilakukan oleh pemerintah dan perusahaan-perusahaan transnasional, serta individu.
Kriminologi kritis dikenal untuk merujuk pada bagaimana hukum tertentu dan berbagai teknik kontrol sosial adalah alat yang digunakan oleh kelompok-kelompok sosial yang kuat untuk mempromosikan dan melindungi kepentingan mereka. Analisis Marxis hukum dan kontrol sosial masih digunakan hari ini (misalnya, Reiman dan Leighton, 2010).
Analisis Artikel
Dari artikel yang saya pilih, saya melihat bahwa terdapat banyak versi mengenai terjadinya peristiwa G30S. Sepanjang saya mengenali buku sejarah sejak SD hingga duduk di bangku SMA, yang digaungkan hanya versi milik pemerintah (sebagai pihak yang berkuasa). Tentunya versi ini merupakan “warisan” pemerintahan orde baru. Saat saya berada di tingkat SD, mendekati tanggal 30 September akan digelar acara screening film G30SPKI dan diakhiri dengan penjelasan guru mengenai bagaimana jahatnya komunisme dan PKI.
Buku sejarah yang diterbitkan oleh penerbit-penerbit selalu menceritakan G30S di sudut bahwa PKI yang bersalah. Ironisnya, banyak cendekiawan yang “bisu”. Fakta ini dapat dijelaskan dengan pendapat C. Wright Mills dalam bukunya yang berjudul The Sociological Imagination (1959). C. Wright Mills berpendapat bahwa penelitian sosial yang didanai oleh pemerintah dipenuhi dengan kepentingan, ketidak-jelasan, dan hal-hal yang tidak penting dan cenderung memihak penguasa.
Selain itu, pemberian terminologi G30SPKI mencerminkan secara tidak langsung bahwa pihak penguasa mendefinisikan peristiwa tersebut adalah kesalahan PKI. Tidak hanya itu, kata komunisme diterminologikan dengan definisi yang negatif. Akibatnya masyarakat Indonesia sangat sensitif telinganya dengan kata dan segala hal mengenai komunisme tanpa menelaah secara ilmiah.
Menurut pendapat saya, terinternalisasinya nilai ini diakibatkan masyarakat Indonesia yang cenderung menerima tanpa menganalisa. Sifat masyarakat yang menerima dan pasrah ini merupakan ciri masyarakat yang pemerintahnya bersifat Authoritarian. Seperti yang ada di kamus britannica, Authoritariansisme merupakan paham yang mana masyarakat memiliki tingkat kepasrahan yang tinggi terhadap pemertinahnya.
Pada masa pemerintahan orde baru, segala hal mengenai komunisme dan PKI disensor. Sempat ada peraturan mengenai test/pengujian untuk menguji apakah seseorang bersih dari pemikiran komunisme atau telah terpapar komunisme. Bagi penduduk Indonesia yang terpapar akan dilakukan tindakan dan penandaan atas dirinya. Selain itu, terdapat eksklusi terhadap individu dan keturunannya yang diduga terdaftar menjadi anggota PKI dan segala wadah kegiatan buatan PKI. Eksklusi berupa penolakan pekerjaan sebagai pegawai negeri sipil. Hal demikian dapat terjadi karena kekuasaan negara dapat termanifestasikan pada peraturan dan hukum yang dikonstitusikan. Poulantzas berargumen bahwa peran dari kekerasan dalam memberikan arti dasar dari kekuasaan seharusnya tidak dihilangkan denan mencari-cari penyebab dari keputusan.
Perlakuan tidak adil terhadap mantan anggota PKI dan pengaburan sejarah mengenai terjadinya peristiwa G30S merupakan upaya untuk melanggengkan kekuasaan pihak-pihak berkuasa orde baru. Dalam sejarah, anggota PKI digambarkan sebagai penjahat. Para perempuan yang terlibat GERWANI digambarkan sebagai perempuan yang kejam. Nills Christie, berpendapat bahwa ini adalah pengkategorisasian dari kontrol negara. Bagi Nills Christie, tidak ada yang namanya kejahatan, hanya ada ‘tindakan dalam proses’ pengkriminalisasian yang dibentuk dari sosiologi-budaya dan politik-ekonomi yang mana pendefinisian ini ditegakkan secara hukum. Hal ini seperti yang dilakukan oleh pemerintah orde yang menggambarkan anggota PKI sebagai penjahat dan penyimpang. Semua ini merupakan rekayasa yang terstruktur.
Kriminologi kritis digunakan untuk merujuk pada bagaimana hukum tertentu dan berbagai teknik kontrol sosial adalah alat yang digunakan oleh kelompok-kelompok sosial yang kuat untuk mempromosikan dan melindungi kepentingan mereka. Analisis Marxis hukum dan kontrol sosial masih digunakan hari ini (Reiman dan Leighton, 2010);
Pengkonstruksian mengenai definisi GERWANI tentunya merugikan perempuan. Kesertaan perempuan dalam organisasi GERWANI sesungguhnya merupakan bentuk kesetaraan gender dalam bidang politik dan organisasi. Dengan pendefinisian yang negatif dari pihak yang berkuasa kemajuan dalam kesetaraan gender di bidang politik mengalami kemunduran.
Kesimpulan:
Negatifnya definisi komunisme, PKI, GERWANI merupakan rekayasa pihak berkuasa. Hal tersebut dikarenakan pihak berkuasa mempunyai kemampuan mendefinisikan seperti apa perbuatan jahat dan perbuatan menyimpang itu. Kekaburan sejarah dilakukan agar tidak ada masyarakat yang mengakses kebenaran dan menjadi kritis. Hal ini diwujudkan oleh pihak berkuasa melalui paham Authoritarian. Tujuan utama dari tindakan ini adalah melanggengkan kekuasaan. Dan terjadi kemunduran kesetaraan gender dalam bidang politik.

Daftar Pustaka:
Hogg, Kerry Carrington and Russel. Critical Criminology. Devon: Willan Publishing, 2002.
DeKeseredy, Walter. Contemporary Critical Criminology. Oxon: Routlede, 2011
Waquant, Loic. Punishing The Poor: The Neoliberal Government of Social Insecurity. Durham: Duke University.
Sumber Artikel:
http://www.lensaindonesia.com/2012/07/30/dokumen-supardjo-ungkap-kegagalan-kudeta-g30-spki-1965.html

NB: Boleh meng-copy penelusuran buku, namun tidak untuk analisis.