Dokumen
Supardjo, Ungkap Kegagalan Kudeta G30-S/PKI 1965
Senin,
30 Juli 2012 14:12 WIB
LENSAINDONESIA.COM:
Desakan Amnesti Internasional kepada Jaksa Agung RI untuk menyelidiki
“Pembantaian Massal” di tahun 1965 silam, seolah membuka kembali lembaran
sejarah kelam bangsa Indonesia. Temuan Komnas HAM menjadi rujukan bagi Amnesti Internasional
untuk meminta pemerintah RI membentuk penyelidikan dan pengadilan ad hoc untuk kasus kejahatan pelanggaran
HAM berat di masa awal berdirinya Orde Baru.
Ketidakjelasan
itu bertahan sangat lama karena rezim Orde Baru melakukan monopoli sejarah
selama puluhan tahun. Banyak versi yang mengupas sisi gelap dan rahasia dibalik
alasan pembantaian massal itu pasca pemberontakan G-30S/PKI, seperti
tulisan Ben Anderson dan kawan-kawannya yang dikenal sebagai Cornell Paper).
Usaha
ISAI (Institut Studi Arus Informasi) menerbitkan buku tipis tentang
masing-masing versi Gerakan 30 September juga diganjal Kejaksaan
Agung pada tahun 1995. Tapi, saat Presiden Soeharto jatuh, bermunculanlah di
tanah air berbagai tulisan tentang Gerakan 30 September 1965, diawali
sejak 1998. Analisis yang diberikan beragam, mulai dari kudeta merangkak
(Saskia Wieringa, Peter Dale Scott, Subandrio) sampai dengan kudeta yang
disengaja untuk gagal seperti yang ditulis Coen Hotzappel. Namun, ada sebuah
tulisan yang berbeda dari versi-versi sebelumnya, yakni “Dalih Pembunuhan
Massal, Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto, ditulis John Roosa. Tulisan
ini begitu ringkas dan menceritakan ada berbagai kelompok yang diuntungkan
dengan kegagalan kudeta itu, namun apakah pihak tersebut mendesain
peristiwa itu sedemikian rupa dengan skenario yang rapi dan semuanya berjalan
seperti yang diharapkan mereka?
Tulisan
ini menyatakan tidak demikian. Kalau disebutkan bahwa Partai Komunis Indonesia
(PKI) secara keseluruhan melakukan pemberontakan, kenapa 3 juta anggota partai
ini tidak melakukan perlawanan ketika diburu dan dibunuh setelah gerakan
itu meletus? Kenapa partai komunis terbesar ketiga di dunia saat itu
begitu mudah dirontokkan? Analisis yang menyebutkan bahwa itu persoalan intern
Angkatan Darat juga tidak memuaskan karena persoalannya tidak sesederhana itu.
Bukankah
Sjam dan Pono juga terlibat? Sementara itu, versi Soekarno sebagai dalang juga diragukan.
Bila sang presiden mengetahui sepenuhnya rencana aksi ini sebelumnya,
kenapa ia berputar-putar di kota Jakarta sebelum menuju pangkalan udara tanggal
1 Oktober 1965? Mengapa Presiden Soekarno tidak langsung saja dari Wisma
Yaso kediaman Ratna Sari Dewi (sekarang Museum Satria Mandala di Jalan Gatot
Subroto) menuju Halim Perdanakusuma?
Demikian
pula sosok Soeharto tidaklah terlampau “jenius” untuk bisa merancang suatu
perebutan kekuasaan secara sistematis. Masih perlu diinvestigasi lebih lanjut
seberapa jauh Soeharto mengetahui rencana tersebut sebagaimana disampaikan
Kolonel Latif dalam pertemuan malam sebelumnya di Rumah Sakit Angkatan
Darat Gatot Subroto.
Amerika
Serikat (AS) tidaklah ikut campur pada tanggal 30 September dan 1 Oktober 1965,
walaupun berbagai dokumen menyebut keterlibatan mereka sebelum dan
sesudah peristiwa berdarah tersebut. Bagi pemerintah AS waktu itu, bila
Indonesia dengan penduduk keempat atau kelima terbesar di dunia itu–dengan
sumber daya alam berlimpah dan posisi sangat strategis– jatuh ke tangan
komunis, berarti telah terjadi kiamat. Riset yang dilakukan John Roosa
menggunakan arsip yang jarang diulas secara utuh selama ini, seperti dokumen
Supardjo, tulisan-tulisan Muhammad Munir dan Iskandar Subekti yang
tersimpan di Amsterdam, wawancara dengan tokoh-tokoh PKI seperti Hasan
yang meminta dirahasiakan identitasnya sampai ia meninggal.
Muhammad
Munir adalah anggota Politbiro PKI dan Iskandar Subekti adalah panitera
Politbiro PKI, yang pada tanggal 1 Oktober 1965 mengetik
pengumuman-pengumuman yang dikeluarkan Gerakan 30 September. Adapun Hasan
memiliki posisi yang dianggap logis mengetahui kegiatan Biro Chusus. Hasan
sendiri sudah menulis memoar yang sudah diserahkan kepada John Roosa yang dapat
dipublikasikan setelah ia meninggal.
Di
samping dokumen-dokumen penting itu, serta wawancara mendalam dengan tokoh
sentral organisasi kiri itu, arsip-arsip yang berasal dari Departemen
Luar Negeri AS membantu menjelaskan berbagai hal. Yang menarik, dari sekian
banyak dokumen, dokumen Birgjend Supardjo dianggap cukup sahih sebagai semacam
pertanggungjawaban setelah peristiwa itu terjadi yang ditulisnya sendiri
ketika ia belum tertangkap.
Beberapa
saksi, termasuk Letnan Kolonel Udara Heru Atmodjo, yang sama-sama di penjara
dengan Supardjo, mengakui keberadaan surat tersebut. Pihak keluarga juga
mengiyakan informasi yang pernah disampaikan Supardjo. Dokumen itu
memperlihatkan bahwa kelemahan utama Gerakan 30 September adalah karena tidak
adanya satu komando. Terdapat dua kelompok pimpinan, yakni kalangan
militer (Untung, Latief dan Sudjono) dan pihak Biro Chusus PKI (Sjam, Pono,
Bono dengan DN Aidit).
Sjam
memegang peran sentral karena ia berada dalam posisi penghubung antara kedua
pihak ini. Namun, ketika upaya ini tidak mendapat dukungan dari Presiden
Soekarno, bahkan diminta untuk dihentikan, maka kebingungan terjadi dan
kedua kelompok ini pecah. Kalangan militer ingin mematuhi permintaan Soekarno,
sedangkan Biro Chusus tetap melanjutkannya.
Ini
dapat menjelaskan mengapa antara pengumuman pertama dengan kedua dan ketiga
terdapat selang waktu sampai lima jam. Sesuatu yang dalam upaya kudeta
merupakan kesalahan besar. Pada pagi hari mereka mengumumkan bahwa Presiden
dalam keadaan selamat. Sedangkan pengumuman berikutnya pada siang hari sudah
berubah drastis (pembentukan Dewan Revolusi dan pembubaran kabinet).
Tulisan
John Rossa ini menyederhanakan kerumitan misteri itu dengan metode ala
detektif. Sjam Kamaruzzaman, disebut agen ganda, apalagi triple agent,
melainkan pembantu setia Aidit sejak bertahun-tahun.
Pelaksana
Biro Chusus PKI yang ditangkap tahun 1968 ini baru dieksekusi tahun
1986. Ia bagaikan putri Syahrazad yang menunda pembunuhan dirinya
dengan menceritakan kepada raja sebuah kisah setiap malam, sehingga mampu
bertahan selama 1001 malam. Sjam bertahan lebih dari 18 tahun dengan mengarang
1001 pengakuan. Dokumen Supardjo mengungkapkan mengapa gerakan itu gagal dan
tidak bisa diselamatkan.
Kerancuan
antara ‘penyelamatan Presiden Soekarno’ dan ‘percobaan kudeta’ dengan
membubarkan kabinet dijelaskan dengan gamblang. Jauh sebelum peristiwa
berdarah itu, AS telah memikirkan dan mendiskusikan segala tindakan yang perlu
untuk mendorong PKI melakukan gebrakan lebih dahulu, sehingga dapat
dipukul secara telak oleh Angkatan Darat.
Dan,
Aidit pun terjebak. Karena sudah mengetahui sebelum peristiwa itu terjadi, maka
Soeharto adalah jenderal yang paling siap pada tanggal 1 Oktober 1965 ketika
orang lain bingung dan panik. Nama Soeharto sendiri tidak dimasukkan
dalam daftar perwira tinggi yang akan diculik.@awa/dne
Penelusuran Buku:
Kriminologi
kritis melihat
ketidak-setaraan di masyarakat dan melihat bagaimana hubungan hukum dan
kejahatan menjadi suatu hal yang saling terkait. C. Wright Mills di bukunya yaitu, The Sociological Imagination (1959). Dia
mencerca penelitian sosial yang didanai oleh pemerintah karena dipenuhi dengan
kepentingan, ketidak-jelasan, dan hal-hal yang tidak penting. Bagi dirinya
kota, lingkungan, dan jalanan mempresentasikan lebih dari sekedar laboratorium
sosial bagi ilmu pengetahuan sosial. Pengalaman, nilai, dan kesempatan dari
masyarakat paling bagus dianggap dan paling buruknya di marginalisasikan.
Penelitian yang dibiayai oleh pemerintah, dipimpin oleh industri, dan dibantu
oleh yayasan meniadakan potensi pentingnya. Gambaran besarnya, integritas,
independensi, dan integritas dari para akademisi profesional telah hilang.
Kekuasaan, seperti yang telah diilustrasikan
oleh Gouldner, bahwa yang memiliki kekuasaan mampu menegakkan nilai-nilai yang
dia inginkan. Bagi Davis (1975: 205) proses yang terintegrasikan dari
institusionalisis, pelabelan, pendefinisian, dan pengkategorisasian dari karya Becker, memberikan logika dasar dari
realitas tentang bagaimana kontrol sosial itu berjalan, masyarakat yang
dibedakan berdasarkan kelas, etnis, sex, dan perbedaan politik dan ekonomi yang
mana bagi kelompok politik yang kuat dapat menentukan kepentingan mereka dan
membiarkan kepentingan kelompok yang lemah. Pencapaian dirinya berakibat pada
perubahan tubuh kriminologi yang sekarang menjadi bagian dari sosiologi yang
lebih komprehensif.
Jika kita membicarakan mengenai paham
Authoritarianism, maka kita akan dihadapkan pada arti dari paham tersebut.
Seperti yang ada di kamus britannica, Authoritariansisme merupakan paham yang
mana masyarakat memiliki tingkat kepasrahan yang tinggi terhadap pemertinahnya.
Setiap masyarkat harus memiliki sikap pasrah
terhadap penguasa.
Kekuasaan negara termanifestasikan pada
peraturan dan hukum yang dikonstitusikan, tempat pertama dari perintah,
larangan, dan penyaringan hukum adalah kode dari kejahatan publik yang di
bentuk. Dia berargumen bahwa peran dari kekerasan dalam memberikan arti dasar
dari kekuasaan seharusnya tidak dihilangkan denan mencari-cari penyebab dari
keputusan yang akan mengurangi kekuasaan untuk melarang baik secara simbolik
atau menginternalisasikan penekanan (Poulantzas, 1978: 79).
Poulantzas kembali mengatakan bahwa negara
kapitalis memegang kuasa atas monopoli untuk mensahkan peraturan yang digunakan
untuk kekerasan fisik. Dari tingkat bawah sampai atas tekanan fisik –pikiran
dan badan- disahkan melalui regulasi, kode, dam hukum.
Bersamaan dengan semakin banyak campur tangan
pemerintah dalam struktut institusional secara keseluruhan, ini membuat institusional
menjadi alat yang bisa dipakai oleh pemerintah untuk menahan bangkitnya
masyarakat bawah dan bahaya hegemoni kelas.
Konsensus di pikiran demokrasi liberal
merupakan hal yang palsu dan membutuhkan manipulasi politik. Dibutuhkan adanya
kekuatan untuk bisa membungkam aspirasi komunitas yang tidak mainstream.
Strategi politik yang bisa kita sebut sebagai pincer attack. Strategi politik ini
mengapit masyarakat (terutama yang terpinggirkan) dengan nilai moral populer
yang ada di bawah dan kontrol serta penahanan dari atas.
Howard Becker mengatakan bahwa penyimpangan
tidak membuat kontrol sosial. Jadi datangnya kontrol sosial tidak dari
penyimpangan yang dilakukan seseorang, tetapi sebaliknya. Jadi kontrol sosial
itulah yang melahirkan penyimpangan. Inilah yang menjadi awal adanya pandangan
pelabelan, memberikan status negatif terhadap suatu tindakan dan aturan sosial.
Nills Christie, menganggap bahwa sebab dari
kejahatan adalah pengkategorisasian dari kontrol negara. Baginya, tidak ada
yang namanya kejahatan, hanya ada ‘tindakan dalam proses’ pengkriminalisasian
yang dibentuk dari sosiologi-budaya dan politik-ekonomi yang mana pendefinisian
ini ditegakkan secara hukum. Seperti yang telah disebutkan bahwa semua ini
merupakan proses yang berubah-ubah dari pembentukan kriminalisasi. Semua ini
merupakan pembuatan yang terstruktur.
Bagi mereka, kriminalisasi tidak hanya
terbatas dari pelabelan sampai pada kategorisasian sosial, tapi juga ‘political
containment’ atau perluasan ideologi politik. Sehingga jika kita melihat ini
bagaikan sebuah strategi perang, pelabelan dan pengkriminalisasian.
Bagi Foucoult formal truth atau kebenaran
formal tidak bisa dimengerti jika kita tidak melihatnya dari hubungannya denan
kekuasaan. Dia mengatakan bahwa pada tiap- tiap masa pemerintah
memiliki nilai-nilai tersendiri dari apa yang
mereka sebut sebagai kebenaran.
Aparat penegakan pidana adalah kunci untuk menormalisasi kerja yang
berbahaya dengan penerimaan
masyarakat dalam menarik
dari pekerjaan yang sulit di bawah ancaman.
Konsekuensi bagi
mereka yang
meninggalkan, menolak akan dieksklusikan dari ini pasar tenaga
kerja. Hal ini terjadi melalui eksklusi dari program bantuan sosial (kesejahteraan
kerja) dan penggabungan ke aparat
carceral memperluas (prisonfare).
Waquant berpendapat bahwa harus ada penolakan terhadap asumsi bahwa kebijakan pidana
adalah respon langsung terhadap meningkatnya kejahatan. Kedua, kesejahteraan dan kebijakan pidana harus tergabung dalam analisis,
karena mereka adalah dua sisi dari pemerintahan yang menarik pada "filosofi behavioris" untuk menegakkan individualisme moral melalui stigma.
“Saya terpaksa menyimpulkan bahwa kekejaman dasar
kurungan pidana dan
proses sesuai otherizing mengurangi
manusia (baik perempuan atau laki-laki).”
(Owen,
2005, p. 285)”
“The
social arrangements that are characteristic of the most dangerous societies are
now, in many places, being enshrined as fundamental virtues: the tolerance of
great inequality in the name of economic growth; a willingness to let
individuals and families fall into extreme deprivation in the name of
encouraging “personal responsibility”; a willingness to leave people’s
well-being up to the fluctuations of the job market; the shrinking of public
supports for the vulnerable in the name of boosting self-reliance and ending
dependency”
Currie
(2008a, pp. 112–113)
Pengaturan sosial merupakan
ciri khas dari masyarakat yang
paling berbahaya sekarang.
Terdapat dukungan empiris substansial
untuk klaim Currie tersebut. Namun, kesenjangan
besar antara kaya
dan miskin tetap ada.
Tindakan kekerasan yang
menyakitkan dan lainnya dilakukan
oleh negara atau pemerintah.
Dengan demikian, Rothe dan Mullins (2006)
menyerukan untuk mereformasi hukum. Salah satunya adalah
dengan cara
meningkatkan yurisdiksi Pengadilan Pidana
Internasional (ICC) untuk mengatasi kejahatan yang dilakukan oleh
pemerintah dan perusahaan-perusahaan
transnasional, serta individu.
Kriminologi kritis dikenal
untuk merujuk pada bagaimana hukum tertentu dan berbagai
teknik kontrol sosial adalah alat
yang digunakan oleh kelompok-kelompok
sosial yang kuat untuk mempromosikan dan melindungi kepentingan mereka.
Analisis Marxis hukum dan
kontrol sosial masih digunakan hari ini (misalnya, Reiman dan Leighton, 2010).
Analisis Artikel
Dari
artikel yang saya pilih, saya melihat bahwa terdapat banyak versi mengenai
terjadinya peristiwa G30S. Sepanjang saya mengenali buku sejarah sejak SD
hingga duduk di bangku SMA, yang digaungkan hanya versi milik pemerintah
(sebagai pihak yang berkuasa). Tentunya versi ini merupakan “warisan”
pemerintahan orde baru. Saat saya berada di tingkat SD, mendekati tanggal 30
September akan digelar acara screening
film G30SPKI dan diakhiri dengan penjelasan guru mengenai bagaimana jahatnya
komunisme dan PKI.
Buku
sejarah yang diterbitkan oleh penerbit-penerbit selalu menceritakan G30S di
sudut bahwa PKI yang bersalah. Ironisnya, banyak cendekiawan yang “bisu”. Fakta
ini dapat dijelaskan dengan pendapat C. Wright Mills dalam bukunya yang berjudul The Sociological Imagination (1959). C. Wright Mills berpendapat
bahwa penelitian sosial yang didanai oleh pemerintah dipenuhi dengan
kepentingan, ketidak-jelasan, dan hal-hal yang tidak penting dan cenderung
memihak penguasa.
Selain
itu, pemberian terminologi G30SPKI mencerminkan secara tidak langsung bahwa
pihak penguasa mendefinisikan peristiwa tersebut adalah kesalahan PKI. Tidak
hanya itu, kata komunisme diterminologikan dengan definisi yang negatif.
Akibatnya masyarakat Indonesia sangat sensitif telinganya dengan kata dan
segala hal mengenai komunisme tanpa menelaah secara ilmiah.
Menurut
pendapat saya, terinternalisasinya nilai ini diakibatkan masyarakat Indonesia
yang cenderung menerima tanpa menganalisa. Sifat masyarakat yang menerima dan
pasrah ini merupakan ciri masyarakat yang pemerintahnya bersifat Authoritarian. Seperti yang ada di kamus
britannica, Authoritariansisme merupakan paham yang mana masyarakat memiliki
tingkat kepasrahan yang tinggi terhadap pemertinahnya.
Pada masa pemerintahan orde baru, segala hal
mengenai komunisme dan PKI disensor. Sempat ada peraturan mengenai
test/pengujian untuk menguji apakah seseorang bersih dari pemikiran komunisme
atau telah terpapar komunisme. Bagi penduduk Indonesia yang terpapar akan
dilakukan tindakan dan penandaan atas dirinya. Selain itu, terdapat eksklusi
terhadap individu dan keturunannya yang diduga terdaftar menjadi anggota PKI
dan segala wadah kegiatan buatan PKI. Eksklusi berupa penolakan pekerjaan
sebagai pegawai negeri sipil. Hal demikian dapat terjadi karena kekuasaan negara
dapat termanifestasikan pada peraturan dan hukum yang dikonstitusikan.
Poulantzas berargumen bahwa peran dari kekerasan dalam memberikan arti dasar
dari kekuasaan seharusnya tidak dihilangkan denan mencari-cari penyebab dari
keputusan.
Perlakuan
tidak adil terhadap mantan anggota PKI dan pengaburan sejarah mengenai
terjadinya peristiwa G30S merupakan upaya untuk melanggengkan kekuasaan
pihak-pihak berkuasa orde baru. Dalam sejarah, anggota PKI digambarkan sebagai
penjahat. Para perempuan yang terlibat GERWANI digambarkan sebagai perempuan
yang kejam. Nills Christie,
berpendapat bahwa ini adalah pengkategorisasian dari kontrol negara. Bagi Nills
Christie, tidak ada yang namanya kejahatan, hanya ada ‘tindakan dalam proses’
pengkriminalisasian yang dibentuk dari sosiologi-budaya dan politik-ekonomi
yang mana pendefinisian ini ditegakkan secara hukum. Hal ini seperti yang
dilakukan oleh pemerintah orde yang menggambarkan anggota PKI sebagai penjahat
dan penyimpang. Semua ini merupakan rekayasa yang terstruktur.
Kriminologi kritis digunakan
untuk merujuk
pada bagaimana
hukum tertentu
dan berbagai teknik kontrol
sosial adalah alat yang digunakan
oleh kelompok-kelompok sosial yang kuat
untuk
mempromosikan
dan melindungi
kepentingan mereka. Analisis Marxis hukum dan
kontrol sosial masih digunakan hari ini (Reiman dan Leighton,
2010);
Pengkonstruksian
mengenai definisi GERWANI tentunya merugikan perempuan. Kesertaan perempuan
dalam organisasi GERWANI sesungguhnya merupakan bentuk kesetaraan gender dalam
bidang politik dan organisasi. Dengan pendefinisian yang negatif dari pihak
yang berkuasa kemajuan dalam kesetaraan gender di bidang politik mengalami kemunduran.
Kesimpulan:
Negatifnya
definisi komunisme, PKI, GERWANI merupakan rekayasa pihak berkuasa. Hal
tersebut dikarenakan pihak berkuasa mempunyai kemampuan mendefinisikan seperti
apa perbuatan jahat dan perbuatan menyimpang itu. Kekaburan sejarah dilakukan
agar tidak ada masyarakat yang mengakses kebenaran dan menjadi kritis. Hal ini
diwujudkan oleh pihak berkuasa melalui paham Authoritarian. Tujuan utama dari
tindakan ini adalah melanggengkan kekuasaan. Dan terjadi kemunduran kesetaraan
gender dalam bidang politik.
Daftar
Pustaka:
Hogg,
Kerry Carrington and Russel. Critical Criminology. Devon: Willan
Publishing, 2002.
DeKeseredy, Walter. Contemporary Critical Criminology. Oxon:
Routlede, 2011
Waquant, Loic. Punishing The Poor: The Neoliberal
Government of Social Insecurity. Durham: Duke University.
Sumber
Artikel:
http://www.lensaindonesia.com/2012/07/30/dokumen-supardjo-ungkap-kegagalan-kudeta-g30-spki-1965.html
NB: Boleh meng-copy penelusuran buku, namun tidak untuk analisis.