Senin, 24 Desember 2012

Habibie & Ainun: Advertising, Pencitraan dan Air Mata

Film Habibie & Ainun (lagi-lagi) adalah film yang diangkat dari sebuah buku berjudul sama. Film ini mengisahkan mengenai perjalanan cinta antara Habibie dan almarhumah Ainun. Cerita dimulai dengan Habibie yang jatuh sakit ketika sedang mendemonstrasikan kecerdasannya di Jerman. Habibie yang kembali ke Indonesia mengantarkan titipan ke rumah Ainun bersama adiknya. Cerita beralih ke masa lampau di mana Habibie dan Ainun masa SMA.

Teknis

Secara teknis, film ini tidak mengalami masalah yang berarti. Editing juga cukup baik. Tidak ada jumping dan pewarnaan juga tidak bermasalah. Penggarapan chromakey saat Habibie berjalan pulang ke rumah di malam bersalju juga baik, hanya kurang terasa real. Penyutradaraan terbilang mengesankan. Terutama pada akting Reza Rahadian sebagai Habibie. Reza mampu menduplikasi Habibie menjadi dirinya sendiri tanpa terjebak menajadi replika Habibie. Semua terasa natural. Namun, sesempurnanya Reza Rahadian memerankan Habibie, ia juga bisa kecolongan. Terdapat satu scene di dalam kantor Habibie, di mana jam tangan Habibie dipasang tidak terbalik (ala Habibie). Sedangkan untuk Bunga Citra Lestari, aktingnya dapat dikatakan baik mengingat Bunga tidak mempunyai gambaran bagaimana Ainun. Soundtrack juga sangat membangun dan kompak dengan visual dalam hal meruntuhkan air mata penonton.

Sponsor Narsis

Yang saya sayangkan adalah pihak sponsor yang terlampu ingin nampang di scene-scene film ini. Saya memaklumi bahwa ini adalah upaya dalam menaikan segmen pasar, namun cara yang dilakukan kurang pas. Bayangkan saja, ketika saya menonton film ini, penonton yang tadinya larut dalam kesedihan dirusak moodnya oleh kemunculan salah satu produk coklat yang menjadi sponsor film ini. Ayolah, sampai kapan sih film sebagai seni dimanipulasi kapitalis? Apakah tidak cukup kalian menjadi budak produser yang kapitalis sampai tega mengorbankan scene-scene film menjadi tembok promosi layaknya di supermarket?

Gesture Politik

Walaupun film ini mengedepankan romantika antara Habibie dan Ainun, namun dalam beberapa kesempatan juga terdapat scene-scene pembelaan politis Habibie dan secara tidak langsung menyebutkan bahwa alm. Soeharto adalah bapak pembangunan. Saya ingat betul ketika Habibie dipanggil untuk membangun teknologi transportasi. Sang utusan berkata bahwa ini sudah zaman pemerintahan Pak Harto di mana Indonesia sedang giat melakukan pembangunan. Sadar tidak sadar, ini adalah upaya pencanangan budaya authotarianisme. Di mana terdapat usaha pendoktrinan nama baik atas alm. Soeharto. Sudahlah, jangan lagi ada upaya pembersihan nama baik melalui film. Jangan pula ada pemanfaatan film sebagai penancapan ideologi.

Jika menikmati film ini pure sebagai film, saya tidak meragukan kualitas film ini sebagai film penguras air mata. Pasangan mana sih yang tidak menganggap romansanya merupakan kisah terindah di muka bumi? Saya memberikan nilai 5 dari 10 untuk film ini. Ah ya, jika dicermati keluarnya film ini sangat pas momentumnya dengan penyerangan mantan petinggi Malaysia mengenai pengkhianatan Habibie.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar